Dr. Maria R. Nindita Radyati – Majalah Real Estate Indonesia, Juli 2017
Suatu program disebut sebagai “Program Exit” adalah jika seluruh kegiatan dalam program tersebut telah selesai dan semua sumberdaya ditarik dari area pelaksanaan program (Rogers dan Macias, 2004). Sedangkan Exit Strategy atau Strategi Exit dari suatu program adalah perencanaan yang dibuat untuk memastikan bahwa meski kegiatan telah berhenti, pencapaian tujuan tidak terganggu dan kelanjutan kegiatan tetap dapat berlangsung, serta dampak positif yang diciptakan bertahan keberlanjutannya. Misalnya: sebuah real estat dibangun dengan konsep Sustainable Real Estate, dimana listrik berasal dari solar panel, sampah organik diolah untuk menghasilkan energy dan pupuk, sampah non-organik diolah melalul recycle dan reuse.
Akan tetapi setelah kegiatan pembangunan selesai, ternyata perusahaan yang melakukan pemeliharaan terhadap real estat tidak slap melakukan semua hal di atas ataupun tidak mampu mempersiapkan penduduk di real estat untuk menjalankan sistem yang telah dibuat. Hal ini menyebabkan tujuan utama untuk menjadi Real Estat sebagai Sustainable Real Estate tidak tercapai. Dengan demikian, perencanaan Exit Strategy penting dilakukan di depan, sebelum perusahaan menyelesaikan kegiatannya untuk mempersiapkan para pemangku-kepentingan yang relevan memastikan tujuan utama tercapai. Jadi dampak positif yang ditinggalkan setelah program/project selesai, tetapi berkelanjutan menjadi sustainable impact.
Dapat juga terjadi suatu kondisi dimana suatu perusahaan terpaksa menutup pabriknya di suatu negara/kota karena secara ekonomi tidak layak dilanjutkan, maka konsekuensinya:
1. perusahaan harus mem-PHK seluruh karyawan di sana, dan/atau
2. perusahaan harus menghentikan program Community Development untuk komunitas.
Di banyak kasus, perusahaan tidak mempersiapkan Exit Strategy di awal, akan tetapi biasanya mendekati akhir proyek. Hal ini dapat menyebabkan tambahan stress kepada karyawan yang telah banyak beban dengan persiapan penutupan operasi/kegiatan. Oleh sebab itu, perencanaan Exit Strategy sebaiknya sejak awal dengan melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan yang relevan.
Berdasarkan pengalaman penulis, untuk mempersiapkan Exit Strategy dari awal khususnya program Community Development untuk komunitas, perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
1. Mengubah mindset para komunitas: dari kecenderungan untuk meminta kepada perusahaan, menjadi termotivasi untuk menolong diri sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajak mereka ‘membangun mimpi bersama. Dengan ini para komunitas merumuskan bersama mimpi ingin menjadi komunitas yang seperti apa di desa mereka.
2. Memberikan pelatihan membentuk Kelembagaan Komunitas/Kelompok Komunitas: dalam pelatihan ini diberikan pengetahuan membentuk Pengurus, menentukan tugas dan tanggung-jawab, merumuskan mekanisme Resolusi Konflik, transparansi dan akuntabilitas keuangan dan keputusan, dll. Tujuannya adalah mempersiapkan mereka mengelola komunitasnya secara mandiri dengan mempersiapkan sistem yang balk.
3. Pelatihan membangun Bisnis Komunitas: saat ini Kementrian Desa sedang menggencarkan pendirian BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) untuk memotivasi masyarakat desa menjalankan bisnis bersama-sama dan Desanya mampu mandiri. Pemerintah juga menyediakan dana untuk pendirian BUMDES, ada yang antara 200-250 juta rupiah per Desa, tergantung letak geografis Desa. Bisa juga diajarkan membentuk Koperasi Simpan-Pinjam agar masyarakat desa mampu menyediakan modal usaha sendiri.
4. Pelatihan teknis: setelah komunitas mampu mem-bentuk kelompok dan menjalankan usaha, maka perlu diberikan pelatihan teknis sesuai keahlian utama mereka, misalnya pertanian, perkebunan, dll.
5. Pelatihan kewirausahaan: untuk memberikan ketrampilan dan pengetahuan tentang menjalankan usaha.
6. Pendampingan atas pelaksanaan semua pelatihan di atas, yang dapat dilakukan antara 6-12 bulan.
Untuk kegiatan Community Development, dalam merumuskan Exit Strategy, dapat diajukan beberapa pertanyaan berikut ini: Elemen apa dari proyek (misalComdev) yang akan dipertahankan keberlanjutannya?
1. Aktivitasnya?
2. Kemampuan pendanaan/self financing?
3. Pemeliharaan fasiltias/infrastruktur?
4. Manfaatnya?
5. Kemampuan komunitas/penerima-manfaat untuk menyediakan jasa?
6. Kelembagaannya?
7. Kemampuan manajemennya?
Selanjutnya perusahaan harus merumuskan apa kriteria sustainable impact; apa milestone yang harus dicapai; jenis kegiatan pelatihan dan/atau pendampingan apa yang masih diperlukan agar penerima-manfaat mampu memelihara legacy/peninggalan perusahaan (dari kegiatan CSR); berapa lama waktu yang dibutuhkan; dan berapa biaya yang dibutuhkan.
Selain Exit Strategy, sebelum penutupan/penyelesaian suatu proyek, perlu di persiapkan:
1. Evaluasi: untuk mengetahui Project Achievement: sejauh mana proyek berhasil dibandingkan perencanaan, apakah ada penyimpangan sumber daya (dana, tenaga pelaksana, waktu/jadwal, dll), apa Lessons Learned dan apa rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan proyek di masa yang akan datang.
2. Membuat Project Closure Report: semua hasil evaluasi, lessons-learned dan rekomendasi dimasukkan dalam report ini dan harus mendapat persetujuan dari pihak yang berwenang (di dalam perusahaan) atas pelaksanaan project dan penyelesaiannya. Setelah penutupan proyek berjaian selama tiga atau enam bulan, maka perlu dilakukan Post Implementation Review: (PIR) yang akan mengukur:
1. Apakah Kelompok Masyarakat yang telah dibentuk masih berfungsi dengan balk?
2. Apakah legacy (misalnya berupa asset) peninggalan perusahaan masih berfungsi dengan balk? Apakah masih digunakan? Apakah bisa dipelihara oieh masyarakat? dan lainnya.