Dr. Maria R. Nindita Radyati – Majalah Real Estate Indonesia, April 2017
Banyak perusahaan mempunyai niat baik dengan membuatkan komunitas fasilitas publik, seperti renovasi atau membangunkan sekolah, tempat ibadah, toilet umum, puskesmas, penampungan air, ruang pertemuan, dll. Oleh karena niat baik mereka, maka peru\sahaan berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakat, sehingga memilih bahan material yang terbaik untuk fasilitas yang dibangun.Tujuan utamanya tentu agar fasilitas awet tahan lama dan tidak mudah rusak. Sehingga peninggalan perusahaan dapat dirasakan dan bermanfaat dalam waktu yang cukup lama. Tentunya setelah proyek selesai, perusahaan ingin segera melakukan serah terima (handover) kepada para penerima manfaat (beneficiaries).
Masalahnya, sering sekali banyak persoalan timbul setelah serah terima dilakukan. Ada beberapa contoh kasus nyata sebagai berikut: Satu perusahaan Nikel telah membangunkan Ruang Pertemuan untuk masyarakat sekitar dengan biaya Rp 9 miliar, ternyata pemda setempat tidak mau menerima handover dari perusahaan dengan alasan biaya pemeliharaan terlalu mahal.
Hal yang sama juga terjadi pada satu perusahaan yang bergerak di industri media, telah merenovasi sebuah sekolah negeri bahkan telah melatih para guru dengan instruktur dari Finlandia, dan memberikan bantuan komputer beserta software maupun buku-buku bagi perpustakaan, namun pemda setempat juga tidak mau menerima serah-terima karena takut tidak mampu menanggung biaya pemeliharaan. Akibatnya perusahaan media tersebut harus terus menerus mensupport “kehidupan” sekolah negeri tersebut dengan dana CSR yang tidak kecil, yakni sekitar Rp 500 juta perbulan. Sumber pendanaan adalah dari seluruh anak perusahaan yang mereka miliki.
Ada juga satu perusahaan membuatkan Toilet Umum untuk masyarakat setempat, dan diserahterimakan kepada lurah setempat yang memimpin saat itu. Toilet dibangun dengan logo perusahaan di sana. Setelah lurah tadi diganti dengan lurah baru, maka toilet tidak dipelihara lagi oleh kelurahan. Akibatnya toilet menjadi terbengkalai dan rusak, sayangnya logo perusahaan masih jelas di situ.
Terakhir ada contoh yang sedikit berbeda, dimana sebuah perusahaan tambang dan energi telah membangunkan rumah ibadah yang megah dengan biaya Rp 12 miliar, kemudian telah diserahterimakan kepada kepala desa di lokasi tersebut. Kepala desa menerima dengan senang hati, namun yang terjadi kemudian adalah si kepala desa yang ‘mengelola’ rumah ibadah tersebut dengan menarik biaya dari masyarakat sekitar. Tetapi uangnya masuk ke kantong dirinya sendiri berikut kroni-kroninya. Jadi ternyata banyak persoalan timbul setelah handover dilakukan, jadi bukan sebelum atau pada saat dilakukan serah terima saja.
Dapat disimpulkan beberapa persoalan yang dapat timbul setelah serahterima proyek CSR dilakukan kepada komunitas adalah:
1. Tidak bisa handover karena biaya pemeliharaan aset dianggap terlalu mahal oleh pemda, jadi pemda khawatir tidak mampu memelihara menggunakan APBD. Akibatnya bagi perusahaan terpaksa terus-menerus menanggung biaya pemeliharaan aset tersebut.
2. Aset peninggalan perusahaan (legacy perusahaan) ‘jatuh’ ke tangan yang salah, sehingga tujuan menciptakan manfaat untuk masyarakat banyak, tidak tercapai. Akibatnya bagi perusahaan; ada resiko bahwa perusahaan dituduh memberikan gratifikasi pada pihak tertentu, ada resiko perusahaan dituduh pilih kasih, dan masyarakat masih kurang puas dengan perusahaan karena CSR-nya tidak memberi manfaat untuk semua pihak, sehingga masyarakat masih terus menuntut CSR kepada perusahaan.
3. Setelah pejabat yang berwewenang berganti, maka ada resiko bahwa aset/legacy CSR dari perusahaan tidak dipelihara, sedangkan identitas perusahaan mungkin masih terlihat dengan jelas. Hal ini dapat menimbulkan imej bahwa perusahaan mengerjakan project CSR ‘asal jadi, sehingga tentu tidak balk bagi perusahaan. Oleh sebab itu, perusahaan perlu mempertimbangkan beberapa persoalan tersebut di dalam tahap ‘perencanaan’ project CSR secara proaktif. Jadi tidak ‘kelabakan’ atau reaktif setelah handover dilakukan.
Untuk itu ada beberapa tips yang dapat dipertimbangkan di awal perusahaan mendesain program CSR untuk masyarakat, khususnya berupa pembangunan aset untuk komunitas:
1. Gunakan material yang tersedia di daerah sekitar, sehingga mempermudah masyarakat setempat untuk memperoleh material dan mampu membelinya jika aset perlu diperbaiki.
2. Sebaiknya material bangunan, bentuk maupun konsep bangunan direncanakan mengikuti kearifan lokal setempat. Hal ini dapat memberi manfaat bagi perusahaan berupa rendahnya biaya
3. Ajak masyarakat setempat untuk membangun bersama-sama secara gotong-royong, sehingga mereka mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) atas aset tersebut, karena merasakan sulitnya membangun.
4. Sebaiknya legacy perusahaan diberikan kepada kelompok masyarakat, sehingga pemeliharaan legacy dilakukan secara gotong-royong. 5. Bantu masyarakat membangun dan mengelola kelompok sebagai penerima serah terima legacy CSR perusahaan’ (Untuk referensi tentang ini dapat membaca tulisan saya dengan judul; “Membangun Komunitas untuk menciptakan dampak keberlanjutan” di majalah ini juga).
Dengan demikian diharapkan legacy CSR perusahaan dapat menciptakan dampak berkelanjutan dengan mempersiapkan masyarakat agar mampu untuk memeliharanya. Semoga bermanfaat.