on Market+ Magazine 67th Edition – Page 20 – June 2015 by Maria R. Nindita Radyati, Ph. D, Dip. Cons., Dip. PM
Social Enterprise adalah suatu bentuk bisnis yang didirikan oleh satu/beberapa social entrepreneur (wirausaha sosial). Wirausaha sosial adalah orang yang berusaha menyelesaikan persoalan sosial dengan mengubahnya menjadi kegiatan/kesempatan bisnis, sehingga tercipta solusi yang berkelanjutan.
Perbedaan antara wirausaha biasa dan wirausaha sosial adalah pada motivasi untuk memulai usaha/bisnis. Motivasi wirausaha biasa untuk memulai bisnis adalah memanfaatkan peluang ‘pasar’ untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Wirausaha sosial mempunyai motivasi utama membantu masyarakat/komunitas tertentu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi, misal di bidang lingkungan hidup: pembalakan liar, kekeringan air, sampah, dll.; bidang ekonomi: kemiskinan, kurang modal usaha, sulit menjual produk pertanian, dll.; maupun persoalan sosial: buta-huruf, mutu/akses pendidikan, kenakalan remaja, konflik masyarakat, dll.
Karakteristik seorang Wirausaha Sosial antara lain adalah:
1. Mempunyai empati tinggi untuk menolong
2. Mempunyai keberanian untuk mengambil resiko
3. Pantang menyerah, selalu ingin mempelajari hal-hal baru, dan tidak pernah berhenti belajar
4. Kreatif dan inovatif untuk mencari jalan keluar mengatasi persoalan sosial dan sedapat mungkin menghindari birokrasi, sehingga keputusan dapat diambil cepat.
Tidak ada definisi baku mengenai social enterprise, karena karakteristiknya berbeda beda pada beberapa negara. Di Eropa dan Inggris, sejarahnya Social Enterprise didirikan oleh komunitas tertentu untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Di Amerika, social enterprise didirikan oleh jutawan (Philanthropist) yang ingin membantu komunitas/masyarakat menyelesaikan persoalan sosial. Sedangkan terminologi Social Entreprenur (Wirausaha Sosial) pertama-kali diperkenalkan di Amerika oleh Bill Drayton, pendiri Ashoka Foundation di Amerika, pada awal tahun 1980-an.
Jika mengikuti versi Inggris, maka social enterprise pertama dimulai di Inggris dimana 28 orang mendirikan The Rochdale Society of Equitable Pioneers tahun 1844, yakni toko kelontong/sembako dengan modal £28, yang kemudian berkembang menjadi koperasi konsumsi dan menciptakan prinsip terkenal di dunia, the Rochdale Principles, yang dipergunakan oleh seluruh Koperasi di dunia. Sedang di Eropa, tepatnya di Spanyol contohnya adalah Futbol Club Barcelona (FCB), didirikan sejak 1899, yang merupakan klub yang dimiliki dan dikelola oleh para fans dari Barcelona yang menjual merchandise, tiket, dll.
Di Inggris kemudian Social Enterprise dikenal sebagai Community Enterprise. Jika social enterprise adalah lembaga wirausaha sosial yang dimiliki oleh individu, maka community enterprise adalah lembaga wirausaha yang dimiliki oleh komunitas tertentu, yang didirikan dengan tujuan menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi, sehingga kepemilikannya pada anggota dan dikelola oleh anggota, jadi mempunyai prinsip seperti koperasi.
Banyak contoh wirausaha sosial yang berhasil di Indonesia melalui pembentukan community enterprise, misalnya: Silverius Oscar Unggul, dkk. yang mendirikan Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) di Konawe Selatan, Sulawesi, yang menyelesaikan masalah pembalakan liar dengan membantu petani memperoleh sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) untuk manajemen penanaman kayu jati sehingga dapat diekspor ke Amerika dan Belanda; Mohammad Zaini yang mendirikan “Komunitas Hong” untuk menyelesaikan persoalan kenakalan anak-anak di daerah Dago Pakar, Bandung; dan Yuri Pratama mendirikan Urchindonesia yang mengolah bulu babi (landak laut) yang dianggap hama, menjadi makanan dan food suplemen sehingga membantu meningkatkan kesejahteraan para nelayan di pulau Tidung, pulau Peri, dan pulau Panggang di daerah Kepulauan Seribu.
Contoh social enterprise di Indonesia adalah Yayasan, misalnya Yayasan Cinta Anak Bangsa; Yayasan Kehati; Yayasan Bina Swadaya, dll.
Contoh community enterprise di Inggris adalah Westway Space yang dimulai tahun 1971 oleh komunitas di daerah Westway mengubah tanah terbengkalai menjadi tempat fasilitas umum (lapangan basket, taman, dll) serta menyewakan dan mengelola banyak area untuk perkantoran, toko, apartemen, dll.; Greenwich Leisure Ltd. yang didirikan tahun 1977 di London yang membangun sekitar 115 sport center bagi para anggota dan umum, dan mengelola London Olimpic Games tahun 2012; serta Coin Street Community Builders (CSCB) didirikan tahun 1984 di London, yang mengubah daerah pelabuhan yang terbengkalai menjadi area perumahan rakyat dan taman.
Keunggulan Community Enterprise dibanding Social Enterprise adalah:
1. Kepemilikan berada pada anggota, dimana keuntungan sebagian dibagikan sebagai deviden untuk anggota, sehingga menciptakan kesejahteraan banyak orang
2. Meningkatkan dignity (martabat) bagi banyak orang, karena anggota tidak hanya menjadi pekerja tetapi juga menjadi pemilik.
3. Pengelolaan dilakukan anggota, sehingga meningkatkan tata-kelola, seperti transparansi dan akuntabilitas.
4. Adanya sistem demokrasi/partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan.
5. Meningkatkan kerukunan dan gotong-royong komunitas/anggota
Di Indonesia, dengan karakteristik banyak penduduk dan tingkat kemiskinan yang tinggi, maka bentuk community enterprise lebih ideal, karena dapat membantu mencapai keadilan sosial dan memberi solusi berkelanjutan bagi kemiskinan.