CSR dan Mitigasi Resiko

Dimuat diharian Media Indonesia, oleh Dr. Maria R. Nindita Radyati

Banyak perusahaan menganggap bahwa CSR adalah kebijakan terakhir setelah perusahaan memperoleh laba. Perusahaan biasanya memutuskan kegiatan-kegiatan sosial apa saja yang dapat dilakukan untuk menunjukkan ke publik bahwa perusahaan telah melakukan CSR.

Padahal dalam banyak diskusi yang saya lakukan, dimana saya selalu bertanya apa tujuan mereka melakukan CSR, maka jawaban yang diberikan hampir selalu sama. Ada yang melakukan CSR dengan tujuan untuk membina hubungan baik dengan komunitas, sebab jika tidak baik hubungannya, maka ada resiko bahwa komunitas akan protes kepada perusahaan dengan menutup jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran operasi perusahaan. Ada yang tujuannya membina hubungan baik dengan pemerintah agar mendapat pelayanan cepat dalam pengurusan ijin-ijin. Ada juga yang melakukan CSR dengan tujuan agar branding perusahaan terkenal.

Business Sustainability
Jadi tanpa disadari tujuan perusahaan melakukan CSR pada dasarnya adalah untuk keberlanjutan bisnis (business sustainability). Perusahaan melakukan CSR agar bisnis berjalan lancar dan tidak terganggu atau mengalami business disruption. Dengan kata lain, perusahaan melakukan CSR dengan tujuan utama mengurangi resiko bisnis atau mitigasi resiko.

Akan tetapi dalam prakteknya banyak kegiatan CSR tidak dikaitkan dengan resiko yang telah diidentifikasikan (risk event), yang biasanya diidentifikasikan oleh Divisi/Departemen Resiko. Daftar risk event dan analisanya biasanya tersimpan rapi di Divisi Resiko dan tidak dikomunikasikan kepada divisi yang merancang kegiatan CSR. Sehingga kegiatan CSR tidak ditujukan untuk mitigasi resiko, akibatnya perusahaan tidak merasakan business benefit dari melakukan CSR. Banyak perusahaan tidak mengerti mengapa sudah banyak mengeluarkan uang untuk kegiatan CSR, akan tetapi masih sering diprotes oleh masyarakat setempat, masih sulit dapat ijin, masih mengalami business disruption disebabkan berbagai hal.

Komite CSR

Oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk merancang kegiatan CSR yang dikaitkan dengan strategi mitigasi resiko. Dalam risk event, biasanya dirumuskan sebab-sebab terjadinya suatu resiko, misalnya: ada resiko bahwa komunitas akan protes, yang disebabkan oleh polusi sungai dan akan mengakibatkan terhentinya kegiatan pabrik selama dua hari dengan kerugian sebesar Rp.1milyar. Misalkan perusahaan juga mengidentifikasi adanya resiko pemerintah setempat tidak memberikan ijin beroperasi disebabkan oleh kelambatan proses administrasi dan mengakibatkan penundaan pekerjaan selama 1 bulan yang setara dengan kerugian melebihi Rp.10 milyar.

Selanjutnya perusahaan perlu menganalisa resiko-resiko tersebut, misalnya: apa yang menyebabkan sungai terpolusi. Jika ternyata penyebabnya adalah limbah perusahaan, maka perlu dilakukan sesuatu oleh divisi operation dan environment agar tidak terjadi pencemaran. Kadangkala, meski sudah memenuhi amdal, masih tetap ada saja kemungkinan terjadinya pencemaran. Maka perusahaan dapat melakukan CSR dalam bidang pencegahan polusi (prevention of pollution), yakni sesuai dengan kesepakatan global tentang CSR (ISO 26000) untuk bidang Lingkungan Hidup. Berarti perancangan kegiatan CSR untuk tujuan ini harus mengikutsertakan divisi operation dan environment.

Demikian pula jika perijinan sulit diperoleh, perlu dianalisa apakah ini disebabkan manajemen arsip di pemerintah setempat kurang rapi sehingga perijinan lama diprosesnya. Jika iya, maka untuk mitigasi resiko ini perlu melibatkan divisi Legal untuk merancang kegiatan CSR, misalnya penyelenggaraan pelatihan manajemen arsip untuk pemda setempat, sehingga mereka dapat melaksanakan tugas lebih cepat dan efisien. Hal ini merupakan bagian dari kegiatan Education kepada komunitas, menurut ISO 26000.

Dengan demikian program CSR yang dilaksanakan perusahaan diharapkan dapat memitigasi resiko-resiko tersebut. Selain itu perancangan CSR harus melibatkan beberapa divisi yang berpotensi terkena resiko. Jadi tidak tepat jika program CSR diserahkan tanggung-jawab perencanaannya hanya pada satu divisi.

Banyak perusahaan besar di luar Indonesia membentuk Komite CSR yang diketuai langsung oleh CEO/President Director dan keanggotaan Komite terdiri dari berbagai divisi, misalnya: Bridgestone, Sumitomo Mining, Samsung, BASF, dll. Tugas dari komite CSR adalah merancang program CSR bersama-sama seluruh divisi/departemen dengan tujuan utama bertanggung-jawab atas dampak negatif yang diciptakan dari kegiatan masing-masing divisi dan tentunya mitigasi resiko. Pelaksanaan CSR dapat dilakukan oleh divisi tertentu, akan tetapi tanggung-jawab berada pada seluruh divisi yang berkaitan dan pertanggung-jawaban adalah langsung kepada CEO/President Director.

Dengan demikian jelas tidak tepat menetapkan KPI (Key Performance Indicator) dari suatu divisi yang menangani CSR hanya berdasarkan pada jumlah demonstrasi masyarakat/komunitas. Perusahaan harus menelusuri apa penyebab masyarakat demonstrasi dan harus melibatkan divisi yang berkaitan dengan permasalahan tersebut untuk menyelesaikannya dengan komunitas. CSR yang benar adalah tanggung-jawab seluruh divisi dan merupakan kegiatan di awal kegiatan bisnis, bukan kegiatan di akhir tahun setelah perusahaan memperoleh profit. Justru CSR yang benar dilakukan di awal di saat perencanaan bisnis. Jika CSR dilakukan dengan cara yang benar maka mudah mengukur business benefit yang dihasilkan dari kegiatan CSR.

*) Penulis adalah Founding Director MM-Sustainability Universitas Trisakti (www.mmcsrtrisakti.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top