Dr. Maria R. Nindita Radyati – Majalah Real Estate Indonesia, Maret 2017
Semua pihak yang bekerja di industri properti pasti familiar dengan peran Manajemen Proyek (Project Management) dan mungkin juga pernah mendengar tentang Green Project Management. Dalam konteks Sustainability (Keberlanjutan), ada konsep Sustainable Project Management. Konsep ini menekankan bahwa manajemen proyek, khususnya bidang konstruksi, dapat turut berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Dalam ilmu Manajemen Proyek, ada suatu istilah yang sangat popular yakni “Iron Triangle: Konsep Iron Triangle menyatakan bahwa suatu proyek tergantung pada tiga hal utama, yakni: cost (dana/biaya), time (waktu), dan quality (kualitas). Sayangnya hanya dua hal yang bisa dipenuhi atau dicapai oleh suatu proyek. Artinya, jika perusahaan punya keterbatasan dana dan keterbatasan waktu, maka harus kompromi dengan kualitas. Demikian pula jika perusahaan mempunyai keinginan untuk mencapai kualitas yang tinggi sedangkan waktu yang dimiliki adalah terbatas, maka terpaksa harus mengeluarkan biaya/dana lebih besar agar dapat memenuhi tujuan.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa komponen cost diubah menjadi “investasi di bidang Keberlanjutan”. Ini maksudnya investasi di empat bidang yang berkaitan dengan keberlanjutan, yang disebut dengan Compass Sustainability, yang mencakup: Nature (Lingkungan Hidup), Economy (Ekonomi), Society (Masyarakat), dan Wellbeing (Kesejahteraan Inclividu). Dalam konteks Sustainable Project Management, cost dipandang sebagai investasi, khususnya investasi di bidang keberlanjutan. Sebelum menentukan bentuk investasinya, maka sebaiknya para manajer proyek konstruksi mengidentifikasi terlebih dahulu apa dampak negatif dari kegiatan konstruksinya di keempat bidang Compass Sustainability tersebut.
Misalnya di bidang Nature, kegiatan konstruksi dapat menimbulkan polusi debu, pemotongan pohon, kebisingan suara, limbah konstruksi yang berlimpah, dan lain-lain. Selanjutnya di bidang Economy, mungkin dengan adanya kegiatan konstruksi dapat mengambil alih perkebunan masyarakat, sehingga menimbulkan kehilangan mata-pencaharian bagi masyarakat sekitar, meskipun mereka telah mendapat penggantian atas pembelian tanah oleh perusahaan, akan tetapi mereka kehilangan livelihood yang telah dilakukan turun-temurun. Di bidang Society, misalnya kegiatan konstruksi dapat menimbulkan persoalan sosial misalnya prostitusi, perjudian, kriminalitas, dan sebagainya. Terakhir di bidang Wellbeing, misalnya dengan adanya pengalihan lahan dari perkebunan menjadi konstruksi menyebabkan masyarakat setempat tidak bahagia karena tidak bisa berkebun dan tidak mempunyai lahan untuk bermain ataupun berkumpul.
Setelah perusahaan mengidentifikasi semua efek negatif di keempat aspek Keberlanjutan tersebut, maka perusahaan harus merencanakan kegiatan migitasi efek negatif tersebut. Hal ini perlu ditangani serius sebab jika perusahaan tidak menghiraukan dampak negatif, maka efeknya kepada resiko bisnis, yang dapat berakibat pada terganggunya kelancaran pembangunan/kegiatan konstruksi dan kemungkinan terburuk adalah terhentinya proyek. Penentuan prioritas investasi harus berdasarkan resiko mana yang paling besar dapat menimbulkan gangguan kegiatan proyek. Perusahaan dapat mulai memikirkan bagaimana mengatasi efek negatif di bidang Nature, misalnya mengolah limbah yang dihasilkan dengan me-recycle atau mulai dengan memilah limbah hasil kegiatan konstruksi agar mempunyai nilai ekonomis dan dapat bermanfaat lagi.
Di bidang Economy misalnya mulai menyediakan tempat khusus bagi para peclagang makanan agar dapat menjual makanan untuk para pekerja konstruksi, kemudian mengadakan pelatihan tentang kebersihan dan kesehatan, dalam proses produksi dan penyajian makanan, kepada para pedagang makanan tersebut. Bisa juga perusahaan mengajarkan para penduduk sekitar untuk menyiapkan rumah mereka menjadi tempat ‘live-in’ bagi pekerja yang berasal dari luar kota. Misalnya tentang kebersihan rumah dan sanitasi. Sehingga keberadaan para pekerja bisa menjadi tambahan pendapatan, karena mereka menjadi punya usaha akomodasi.
Untuk bidang Society misalnya perusahaan memberikan sanksi tegas bagi karyawan yang mengunjungi tempat-tempat kurang terpuji di atas, dan segera melaporkan kepada yang berwajib jika terdapat tanda-tanda kegiatan yang dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat. Di bidang Wellbeing, perusahaan bisa menyediakan taman khusus bagi masyarakat sekitar dan mengajarkan para penduduk setempat untuk memelihara taman tersebut secara swakelola dengan cara membentuk Kelompok Pencinta Taman, misalnya.
Seluruh contoh kegiatan mitigasi dampak negatif tersebut merupakan investasi bagi perusahaan, jadi jangan dipandang sebagai biaya. Karena dengan investasi di bidang keberlanjutan, maka perusahaan akan memperoleh ‘return’di masa yang akan datang, misalnya berupa dukungan dari masyarakat (social license to operate) sehingga kegiatan proyek dapat berjalan lancar, memenuhi target time (waktu) dan quality (kualitas) yang diharapkan.